Hari terakhir di Bima, kembali bernostalgia. mengumpulkan kenangan masa lalu yang berserak di pikiran. Semakin bersyukur, bahwa di tengah keterbatasan yang saya miliki saat ini, saya jauh lebih beruntung ketimbang mereka.
Selasa, 27 September 2011 merupakan hari terakhir dari perjalanan mudik ke Bima. Meminjam motor sepupu, suami bersiap-siap mengajak keliling kota Bima.Sebelum berkeliling dan menapaki jejak masa lalu, kami mampir di Pasar dekat Pusat Jajan Kota Bima. Tujuannya sarapan. Menu pilihannya adalah Sate dan Gule kambing. Jadi ini satu paket, harganya 15 ribu rupiah satu porsi. Selain itu mencoba Jalakote alias Pastel yang ada di depan Hokkymart.
Setelah kenyang dengan sarapannya, tujuan pertama adalah Pelabuhan Bima. Arusnya sedang besar, sehingga agak ngeri juga melihatnya. Apalagi kalau sampai ke tengahnya, kebayang deh dengan naik kapal yang kecil begitu. Kapal-kapal itu menghubungkan kota Bima dengan pulau-pulau kecil sekitarnya.
Dari pelabuhan Bima, suami mengajak bernostalgia ke tempat mainnya saat kecil dahulu, Pantai Ule. Suami berkisah, dari rumahnya di tengah kota ke Pantai Ule, bersama teman-temannya bersepeda. Tapi, saya yang dibonceng motor langsung menghela nafas. Jauh banget, mana jalanannya jelek, dan cuacanya amat sangat panas. Hingga melewati jalanan yang terjal, tak kunjung menemukan bibir pantai. Yang tambah bikin miris adalah sampah ada di pinggir jurang ini.
Dari Pantai Ule yang ngga ketahuan dimana bibir pantainya, Suami berinisiatif mengajak ke Terminal Bima. Yup, kami gemar mengamati tingkah laku masyarakat, dan bisa mengabadikannya ke dalam sebuah foto tentu menjadi pengalaman yang selalu dicari. Pukul satu siang di Terminal Bima cukup lengang. Karena hanya bus-bus antar kecamatan saja yang singgah. Sementara bus malam mulai memadati terminal Bima setelah pukul enam sore. Dan pukul enam sore merupakan jadwal terakhir keberangkatan bus ke Wera, Sape, dan ke kecamatan manapun.
Selain takjub dengan tulisan yang menghiasi badan bus, saya juga takjub dengan bawaan di bus. Ya, ada bus yang mengangkut lemari, dan sepeda anak-anak yang jumlahnya cukup banyak.
Dari terminal Bima, tujuan selanjutnya adalah Pantai Lawata, yang sebenarnya tidak jauh dari tempat kami menginap di Sambinae. Pantai Lawata adalah satu-satunya pantai di Bima yang masuknya bayar, seribu rupiah saja!!! Ketimbang pantai lain, Lawata lebih terawat. Sayangnya, fasilitas penginapan rusak mungkin karena tidak ada yang berkunjung. Makanya, saya sempat mikir bagaimana kalau Visit Mataram Sumbawa 2012 ya? butuh banyak perbaikan nih tempat wisatanya. Di pantai Lawata, suami mengajak berkeliling. Secara Lawata adalah tempat yang selalu dikunjungi saat pembagian raport saat masih sekolah di Bima. jadi kebayang deh bagaimana penuhnya saat pembagian raport. Ombak di Lawata cenderung tenang. Di Bima, ada makanan khas yang terbuat dari sagu dan dicampur daging. Namanya Salome. Harganya? 500 perak saja!!! Murah meriah.
Masalah penginapan di Bima saya melihatnya memang banyak yang kurang layak. Yang di daerah kota yang menurut saya lumayan hanya Lila Graha, dan di pinggir Kalaki Beach itu ada penginapan baru, namanya Kalaki beach Resort.
Perjalanan kami di Bima berakhir hari itu, malamnya naik bus ke Mataram. Tiketnya 150 ribu per orang. Berkat saran seorang saudara kami memilih naik Surya Kencana yang katanya busnya baru, ternyata pas kebagian yang bus lama. Alhasil, baru setengah jam keluar terminal, busnya mogok. Hampir tiga jam menunggu bus pengganti, akhirnya telat sampai di Mataram, yang biasanya sampai di terminal mandalika paling lambat jam delapan pagi, eh ini baru sampai sekitar jam 12 siang. Untungnya supir busnya baik, dan mengemudi dengan sangat hati-hati. Amat sangat tidak mudah untuk mengemudikan kendaraan dari Bima ke Mataram, apalagi saat melewati Nanga Tumpu, yang sebelahnya jurang dan sebelahnya bukit. Butuh kesabaran ekstra. Perjalanan di Bima berakhir dan perjalanan di Mataram pun dimulai.