Sudah sebulan ternyata saya “hibernasi” , maka postingan edisi pulang kampung ini menjadi pecah telor dari puasa ngeblog.
Oke, jadi saya mau cerita tentang Lebaran kemarin. Miswa dan keluarga besarnya memutuskan untuk mudik ke Bima. Sebenarnya saya pingin banget ikut, tapi apa daya ngga boleh cuti sama sekali -ya naseb kerja di tv-. Tapi, karena ayah mertua kasihan sama saya, beliau dengan berbaik hati membelikan tiket pesawat PP. Dan rezeki saya, harga tiketnya ngga jauh sama harga normal.
Kalau Miswa dan keluarganya mulai berangkat dari tanggal 3 Agustus dengan mengendarai mobil -secara perjalanannya tiga hari dua malam- saya baru berangkat tanggal 9 Agustus alias di hari lebaran kedua. Yang kebetulan jumat dan sabtu adalah hari libur saya ngantor.
Jadi, di hari kedua lebaran jam dua pagi saya sudah berangkat ke Bandara Sukarno Hatta. Lion Air yang saya naiki akan take off dari terminal 3, yang mana saya senang banget karena lebih nyaman. Sempat singgah di Monas Lounge tapi ternyata cuma ada minuman dan makanan sisa semalam *kecewa. Alhamdulillahnya, Lion Air ngga pakai delay. Bahkan jam empat pagi sudah dipanggil untuk naik pesawat.
Setelah transit di Bali, jam 10 pagi saya sudah sampai di Bandara Sultan Salahuddin yang luasnya bahkan kalah dibanding terminal Depok. Di ruang tunggu bahkan tercium bau kotoran kuda dari Cidomo yang berlalu lalang. Ngga pakai lama, kopor saya yang berisi titipan mertua dan miswa akhirnya keluar.
Di Bima, tujuan pertama adalah rumah dua orang kerabat, kemudian ke Istana Bima, alias Asi Mbojo. Di Asi, saya disuguhi pisang kepok yang digoreng. Sungguh ini #godaan banget buat saya yang sedang berusaha keras menurunkan berat badan. Tapi ya, namanya mudik kan ngga setiap hari. Dua potong pisang kepok goreng kemudian mampir di perut saya.
Berhubung tidak setiap waktu bisa ke Asi Mbojo, saya dan Miswa berkeliling dan mengabadikan berbagai sudutnya. Ini adalah salah satu sudut Asi Mbojo yang sudah berumur ratusan tahun dan tetap awet.
Salah satu persoalan besar ketika mudik adalah undangan makan dari para kerabat. Seperti foto di atas, saya tak bisa menolak ketika disuguhi uta mbeca parongge alias sayur daun kelor -atiati susuknya copot- uta karamba alias ikan asin goreng kering, ikan goreng serta doco toma alias sambal tomat. Saya sampai dua kali nambah -tentu saja ngga pakai nasi biar bisa lebih banyak makannya 🙂
Habis makan besar, lanjut dengan cemilannya.Yang diatas kue bingka dengan teh mint yang saya bawa. Kemudian yang dibawah adalah pangha bunga, alias kue bunga. Yang terbuat dari tepung ketan. Rasanya legit dan bikin ketagihan. Saya harus ingat-ingat perut yang kian membuncit saat memakannya.
Mengingat begitu banyak makanan yang telah mampir di perut. Saat sore hari saya mengajak miswa untuk membakar timbunan lemak dengan berlari ke pantai Lawata yang berjarak tak sampai satu kilometer dari rumah di Sambinae. Menikmati matahari tenggelam sambil jogging sungguh menjadi pengalaman baru buat saya.
Esok harinya, kunjungan ke rumah kerabat kembali menjadi agenda utama, yang kali ini berada di Bontoranu. Dan saya pun disuguhi Mina Sarua, yang disebut-sebut “viagra” khas Bima 🙂 Jadi, Mina Sarua ini adalah minuman yang terbuat dari berbagai campuran. dan proses pembuatannya berlangsung selama dua hari. Campuran beras ketan dan ragi didiamkan selama satu malam. Paginya rempah-rempah antara lain Jahe, Merica dan Lada disangrai. Lalu beras ketan yang telah menjadi tape ketan itu di campur dengan rempah yang telah disangrai. Kemudian di masak bersama santan kelapa dan sedikit gula merah. Rasanya? begitu hangat di tenggorokan dan membuat stamina kembali fit.
Salah satu kebiasaan Ibu mertua yang kemudian ditularkan pada saya adalah beli emas di Bima. Kenapa beli emas di Bima? Karena kata Ibu mertua kadarnya lebih tinggi. Ya saya sih nurut aja, lah wong dibeliin 🙂
Yang juga tidak boleh dilewatkan saat mudik ke Bima adalah membeli kain. Ibu mertua mengajak saya ke daerah Raba, ke tempat seorang pengrajin kain, untuk membeli kain tenun ini. Kain yang berwarna merah harganya 750 ribu rupiah, sementara yang ungu harganya 550 ribu. Mahal? iya. Tapi, tahukah bahwa untuk menenun kain ini membutuhkan waktu paling cepat 20 hari. Jadi, rasanya harga segitu masih tergolong wajar ya.
Sementara itu, Miswa membelikan kain khas Donggo,sebuah kecamatan di Bima. Kenapa kain ini begitu spesial? karena bahan-bahannya terbuat dari pepohonan dan akar-akaran. Zaman dahulu, ketika seseorang mengalami alergi atau penyakit kulit, cukup sarungan atau dikukup ya kalau saya bilang, maka penyakit kulit dan alergi pada kulit akan hilang. Harganya memang cukup mahal, 400 ribu rupiah. Tapi, proses pembuatannya tak kalah rumit ketimbang kain tenun biasa. Saya menemukan sebuah blog yang memuat proses pembuatannya di sini. Kain tenun khas Donggo ini lazim juga disebut dengan Tembe Me’e Donggo. Dan saya sesungguhnya ingin mengenakannya ala rimpu, tapi karena tidak bisa malah begini jadinya 🙂
Sesungguhnya, saya hanya benar-benar menghabiskan waktu di Bima dua hari satu malam. Karena di malam minggu saya harus menempuh perjalanan ke Mataram dengan menaiki bus selama 10 jam. Dari Mataram, pesawat yang saya naiki di Lombok International Airport kemudian terbang ke Jakarta. Sampai Soekarno Hatta jam tiga sore langsung ke kantor. Capek? pastinya. Tapi, setidaknya mudik dalam waktu sangat singkat ini cukup mengobati kerinduan saya akan kampung halaman Miswa.
*Lingi Aka Ade Mbojo artinya saya sangat merindukan Bima
Mez, aku kalo udah liat kain2 gini bisa panik hihi
Sama, aku juga Untungnya penjualnya ngga ada mesin EDC, kudu pakai cash jadi aman deh….