Namanya mungkin tak setenar Yuni Shara, pun Kris Dayanti.
Dari sebuah gang kecil di kota Batu, Jawa Timur, Anjani Sekar Arum mengukir prestasi.
Walau seringkali dituduh eksploitasi,
Dia tak pernah bersedih hati
Sehelai kain batik bermotif Banteng -baik kepala maupun tubuh banteng- tergambar cantik di sehelai kain yang saya pegang. Motifnya memang tidak serumit seperti motif batik lainnya. Sebagai penggemar kain batik, saya selalu tertarik untuk mengetahui makna dan cerita di balik proses pembuatan batik. Beruntung saya, saat itu saya bertemu dan bisa berkenalan dengan Anjani Sekar Arum, pendiri Sanggar Batik Tulis Andhaka, di kota Batu, Jawa Timur yang menggagas dan melestarikan motif Bantengan ini. Perkenalan singkat dengan Anjani yang masih muda ini bikin saya kagum, takjub sekaligus bangga.
Nama Anjani Sekar Arum mungkin belum setenar Yuni Shara atau kris Dayanti yang sama-sama berasal dari kota Batu, Jawa Timur. Tapi, peran sertanya dalam mengharumkan nama kota Batu tak bisa diremehkan. Lewat batik tulis Bantengan, Anjani yang lahir pada 12 April 1991 ini mengukir prestasi. Tak hanya itu, Anjani pun menurunkan ilmunya pada anak-anak yang kerap mengunjungi sanggar batiknya.
Ketertarikan Anjani pada batik sesungguhnya dimulai ketika duduk di bangku kuliah jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang. Anjani yang mengambil jurusan seni kriya, belajar batik dari hal yang sangat dasar. Bahkan, perempuan yang berwajah imut-imut ini belajar membatik hingga ke Yogyakarta dan Solo. Uang enam juta rupiah pun digelontorkannya hanya untuk belajar teknik mewarnai.
Memiliki modal ilmu, tak berarti membuat Anjani dengan mudah mengembangkan usaha batik tulis ini. Modal yang minim membuatnya hanya mampu membayar dua pekerja untuk membantunya. Sayang, usahanya yang sungguh-sungguh tak diimbangi dengan keseriusan pekerjanya yang sudah berusia dewasa. Setelah mendapatkan ilmu dari Anjani, dua pekerjanya malah pergi dan membuka usaha sendiri. Namun, semangatnya untuk mengembangkan Batik Bantengan tak pupus, apalagi setelah bertemu dengan Aliya Diza Rihadatulaisy, siswi SD Negeri I Sisir Batu, pada 2015 silam.
Semangat Dari Aliya
Pertemuan Anjani dengan Aliya kembali memompa semangatnya. Perlahan namun pasti, Aliya yang diajari Anjani mulai memperlihatkan kehebatannya sebagai pembatik. Anjani pun membebaskan Aliya untuk menggambar motif mewarnainya sesuka hati. Bagi Anjani dan juga diamini oleh pengunjung sanggar Batiknya, goresan tangan anak-anak justru lebih menarik, karena menggambarkan kepolosan dunia anak dalam bercerita. “Batik itu seni, bukan sekedar industri. Makanya yang dibuat anak-anak lebih menarik minat pembeli,” jelas Ibu satu anak ini.
Keterlibatan Aliya di sanggar Batik Anjani, kemudian menarik anak-anak lainnya. Saat ini, hampir tiga ratus anak, mulai dari usia sekolah dasar sampai perguruan tinggi tergabung dalam sanggarnya. “Namun, hanya sekitar 30 anak yang benar-benar aktif,” jelas Anjani yang juga menjadi guru honorer di SMP Negeri 1 Batu. Di sanggar yang hanya seluas 60 meter persegi ini, anak-anak membatik. Mulai dari menggambar, memberi lilin sampai mewarnai. Sesekali, anak-anak itu terlihat serius, atau justru bercanda sambil mengobrol dengan teman-temannya. Setiap anak, rata-rata menghasilkan 4-5 potong kain dalam sebulan. Anjani pun membebaskan anak-anak untuk menggambar dan mewarnai sesuka hati, walau quality control tetap ada pada tangannya.
Ketertarikan anak-anak untuk ikut membatik, menghasilkan karya dan juga uang memang dikontrol penuh oleh dirinya sebagai pendiri sanggar Batik ini. Anjani mencontohkan, misalnya satu helai kain batik terjual 500ribu, sebagai pengelola sanggar, dia hanya mengambil 10% saja dari hasil penjualan. 10 % itu yang digunakannya untuk packaging batik, bahan baku, sampai operasional sanggar. “Uang yang mereka terima dimasukan dalam satu tabungan khusus sehingga mudah dikontrol. Salah satu yang bikin saya terharu adalah, ada salah seorang anak yang bisa membelikan orangtuanya sepeda motor,” ceritanya dengan penuh haru.
Bagi Anjani, melibatkan anak dalam produksi Batik Bantengan, tak seceria kehidupan anak-anak. Sebuah peristiwa menyedihkan baru saja dialaminya. “Ada lomba Batik tingkat Kabupaten, anak-anak asuh di sanggar saya dicurangi dalam lomba itu. Buat saya itu tidak bisa ditolerir, karena anak-anak ini sudah kelas lima SD dan tahun depan mereka akan ujian nasional, sehingga tidak bisa mengikuti lomba serpa lagi,” ceritanya dengan geram. Anjani pun tak lelah mengingatkan anak-anak asuhnya untuk selalu jujur dan terus berusaha dengan tekun untuk mewujudkan keinginannya.
Tudingan miring bukannya tak pernah menerpa Anjani. Segelintir orang pernah menuduhnya mengeksploitasi anak-anak yang mengerjakan Batik di sanggarnya. Tudingan itu tak membuatnya patah arang. baginya, biarlah anjing menggongong kafilah tetap berlalu, “daripada capek memikirkan tudingan itu, mendingan saya menunjukkan hasil karya anak-anak,” jelas Anjani yang kerap diundang berpameran ke luar negeri.
Anjani pun menjelaskan tak pernah memaksa anak-anak untuk terus mengerjakan batik, istilahnya menyesuaikan pada mood dan waktu anak-anak asuhnya. Kini, Anjani pun mengatur waktu agar anak-anak asuhnya bisa beraktivitas seperti layaknya anak-anak. Biasanya, anak-anak mulai datang ke sanggarnya usai pulang sekolah, sekitar jam 2-3 sore. Namun, waktunya tak bisa dibatasi, karena anak-anak ini menganggap sanggar adalah tempat bermain, mereka pun pulang sesuka hati. Biasanya, proses menggambar di lakukan di sanggar, namun proses canting aau melapisi gambar dengan lilin, dilakukan anak-anak di rumah masing-masing. Dan untuk urusan pewarnaan dilakukan orang dewasa, karena sangat riskan bagi anak-anak.
Menularkan ilmu membatik, bagi Anjani Sekar Arum, adalah bahasa cintanya untuk anak-anak. Anjani pun menjelaskan, anak-anak yang belajar dan beraktivitas membatik mempengaruhi nilai akademis. “Anak-anak yang belajar membatik akan bisa lebih berkonsentrasi, fokus pada pelajaran. Tak hanya itu, membatik juga mengajarkan kesabaran dan membuat anak-anak lebih mudah meluapkan ekspresinya,” jelas Anjani.
Cerita Lucu dari “Bule”
tak bisa dipungkiri, masyarakat luar negeri lebih menyukai dan menghargai kain Batik, tak terkecuali bagi Batik Bantengan. Saat berpameran di Taiwan, Batik yang dibawa Anjani sudah ludes terjual, hanya tersisa batik ‘rusak’ karya anak-anak yang bisa dibilang tidak lolos quality control, lantaran malam (lilin) hancur, warnanya tidak sempurna, gambarnya pun bisa dibilang khas anak-anak sekali. “Lucunya, dari 79 batik rusak karya anak-anak, dibeli oleh pengunjung, hanya sisa dua helai saja,” kenang Anjani dengan bangga.
Lain waktu, sejumlah ‘bule’ dari Belanda datang ke sanggar Batiknya, mereka pun takjub dengan hasil karya batik anak-anak dan merasa bangga karena ada anak-anak yang mau dan mampu melestarikan budaya. Tamu dari Belanda itu bahkan tak segan-segan merogoh koceknya lebih dalam untuk membeli kain batik karya anak-anak,”Masa anak-nak itu menyebut harga empat juta, lima juta rupiah, dan dibeli sama tamu itu,” jelas Anjani sambil menahan tawa.
Raih Prestasi Bukan Sensasi
Usaha Anjani Sekar Arum mengenalkan batik Bantengan ke tingkat nasional maupun Internasional berbuah manis. Selain kerap diundang berpameran ke sejumlah negara, tahun 2017 silam, Anjani diganjar penghargaan sebagai salah satu penerima Satu Indonesia Awards. Dalam ajang penghargaan yang digagas Astra Group ini, Anjanimeraih juara tingkat Provinsi dan Nasional, hingga total hadiah uang pembinaan sebesar Rp. 75 juta diterimanya. Anjani pun menuturkan rencananya, bahwa uang ini akan digunakan untuk memperbesar sanggarnya, agar banyak anak-anak an pengunjung yang bisa belajar membatik di sanggarnya.
Satu Indonesia Awards adalah ajang penghargaan tahunan yang digagas Astra Group untuk mengapresiasi individu atau kelompok yang memiliki karya dan pengabdian di bidang pendidikan, kesehatan, teknologi, lingkungan dan wirausaha. Tahun ini, adalah tahun kesembilan penghargaan satu Indonesia Awards digelar. Bagi para penerimanya, selain diberikan hadiah berupa uang pembinaan sebesar Rp. 60 juta, juga akan dilibatkan dalam kegiatan Corporate Social Responsibility grup Astra.
Tahun 2018 ini, yang akan menjadi juri diantaranya adalah Prof. Emil Salim (Dosen Ilmu Lingkungan Pasca Sarjana Universitas Indonesia), Prof. Nila Moeloek (Menteri Kesehatan Republik Indonesia), Prof. Fasli Jalal (Guru Besar Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta), Ir. Tri Mumpuni (Pendiri Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan), Onno W. Purbo Ph.D. (Pakar Teknologi Informasi) dan juri tamu CEO dan Founder GO-JEK Nadiem Makarim.
Ini dia syarat mengikuti Satu Indonesia Awards 2018 :
- Perorangan atau Kelompok minimal tiga orang.
- Berusia maksimal 35 tahun
- Kegiatan minimal telah berlangsung selama setahun
- Belum pernah menerima penghargaan baik di tingkat nasional ataupun Internasional
- Kegiatan harus orisinal
- Bukan karyawan atau keluarga dari karyawan Astra Group/Tempo media
Tertarik mau mengikuti seleksi penerima satu Indonesia Awards? langsung aja kunjungi www.satu-indonesia.com atau sosial medianya ya.
Eits, jangan salah…kamu juga bisa loh mendaftarkan kenalan yang kamu anggap patut menerima penghargaan Satu Indonesia Awards.
Nah, setelah membaca cerita saya tentang Anjani Sekar Arum, pelajaran apa sih yang kamu peroleh? cerita dong…. 🙂
Satu Indonesia Awards 2018
www.satu-indonesia.com
Instagram : @satu-indonesia
Twitter : @SATU_Indonesia
Wah, Batu… Deket rumahku. Pengen mampir ah nanti, melihat batiknya sekalian kenalan sama mbak Sekar yang muda tapi menginspirasi itu. 🙂
Indonesia memang kaya ya, dari batik aja hasilnya luar biasa begini. Belum lagi yang lainnya bila dimaksimalkan.. 😀
Btw salam kenal Mba Memez 🙂
Salam kenal mba… terima kasih sudah main ke sini 🙂