Mengunjungi lokasi wisata yang demikian terpencil dan menggali cerita masyarakat. Semakin menyadari betapa kaya budaya masyarakat ini.
Berada di tempat asing (maksudnya yang bukan rumah sendiri) membuat saya selalu terbangun pada pagihari. Mandi dengan kucuran air yang begitu dingin membuat saya merasa dikaruniai rezeki berlebih. Air dan cuaca yang masih dingin membuat saya tak bisa menolak sepiring pisang goreng yang pisang kepoknya dipetik dari kebun sendiri. Empat potong tak terasa saya habiskan, ditambah pencuci mulutnya adalah Foo alias mangga yang lagi-lagi dipetik dari pohon di depan rumah. Hari ini adalah hari terakhir Mertua dan adik-kakak dari Suami berada di Bima. Setelah sarapan, jam sembilan pagi saya dan suami bergegas mengantarkan rombongan keluarga ke Bandara Sultan Muhammad Salahudin. Ada perubahan rencana, yang tadinya harusnya naik Merpati tapi diganti menjadi Trigana, karena Merpati membatalkan penerbangannya kurang dari 12 Jam, untungnya Merpati mau memberikan kompensasi berupa tiket Trigana yang lebih mahal. Sekitar 700ribuan. Keluarga suami menaiki Trigana sampai Mataram, kemudian dari Mataram melanjutkan perjalanan ke Jakarta.Berbeda di bandara lainnya, disini walau bukan penumpang bebas masuk bandara, apalagi kebanyakan masih keluarga dan saling kenal.
Setelah mengantar keluarga, saya dan suami yang menyewa mobil APV seharga 350 ribu rupiah sehari menjemput teman-teman masa kecil suami, dan perjalanan kami pun dimulai. Tujuan pertama adalah Pantai Torowamba di daerah Sape. Dari kota Bima, naik mobil sekitar tiga jam. Pantainya sepi banget. letaknya terpencil. Bahkan dari jalan raya yang tidak mulus itu, tidak terlihat tulisan penunjuk jalan. Di pantai ini, ada sembilan cottage yang tidak terururs, sayang banget ya. Padahal saya tahu benar investasinya tidak sedikit itu. Di Pantai Torowamba pasirnya putih, suasananya hening dan menyenangkan. Pemandangannya ke arah gunung Sangiang dan kita bisa melihat Ferry menuju Labuan Bajo.
Berbekal ayam goreng dan cemilan lainnya, makan siang di Pantai Torowamba terasa menyenangkan. Jujur saja, tadinya saya malas repot dengan membawa bekal makanan, eh ternyata di sini tak nampak satu orang pun. Boro-boro berjualan. Kalau tak berinisiatif membawa makanan, bisa-bisa kelaparan.
Puas menghabiskan waktu di Pantai Torowamba, perjalanan kami teruskan dengan menelusuri Bima bagian utara. Tujuan kami adalah Wera. Salah seorang rekan suami tinggal di depan terminal Wera. Inilah pedalaman Bima sesungguhnya, listrik hanya menyala enam jam dalam sehari. Saat kami melintasi jalan, masyarakat melambaikan salam ke arah mobil yang kami tumpangi. De Heri memberitahukan bahwa mereka senang sekali jika ada yang melewati kampungnya, dengan begitu, akan banyak yang menceritakan keadaan kampungnya kepada masyarakat luar. Tak terlihat wajah penyesalan apalagi kedukaan, meski harus hidup di tempat yang demikian terpencil.
Dari pantai Torowamba, untuk ke Wera harus melewati jalanan yang berbukit-bukit dan terjal. Dari kejauhan melihat pulau Ular, salah satu Obyek wisata yang kini sedang ramai dikunjungi. Padahal, Pulau Ular hanya terdiri dari bongkahan batu yang sangat besar, tidak ada tanaman yang tumbuh, kecuali batang kering yang terus tumbuh. Dan tentu saja banyak ularnya namun jinak. Konon kabarnya niat buruk seseorang bisa diketahui dari ular ini, jika berkunjung dan kemudian digigit, berarti punya niat jahat. Untuk berkunjung ke Pulau Ular harus menaiki perahu yang ongkosnya dua ribu rupiah saja.
Perjalanan dari pantai Torowamba ke terminal Wera sekitar tiga jam. Melewati jalanan yang berbukit-bukit, dan diapit bukit dan jurang pinggir pantai. Di perjalanan menuju Wera melewati penambangan Pasir Besi yang kapalnya besarrrr banget. Kami sampai tepat saat adzan maghrib berkumandang. Dan mati listrik saudara-saudara. Saya jadi makin bersyukur tinggal di Jakarta dengan segala fasilitasnya, mulai saat itu saya mengucap banyak syukur *awas kalau mengeluh lagi, jitak !!!!Hanya satu jam bernostalgia, kami terpaksa pamit, apalagi mengingat perjalanan masih panjang. Di tengah jalan, saya kebelet BAB *aduh ngga tepat banget sih sikonnya. Dan terpaksa berhenti di sebuah Puskesmas yang cukup besar. dan ya ampun, demi apa toiletnya jorokkkk banget. Tapi, ngga ada pilihan lain. Terpaksa membuang hajat disini, mengingat perjalanan masih sekitar tiga jam lagi ke kota Bima.
Setelah beres urusan toilet, pulang ke kota Bima melewati bagian utara Bima yang cukup menegangkan. melewati jalan yang sepi dan hutan-hutan. Suami beberapakali harus membunyikan klakson lantaran banyak sapi yang beristirahat di tengah jalan. Dan di tengah perjalanan, tiba-tiba… BRUKKKK… entah makhluk apa menabrak bagian bawah mobil. Tapi atas saran De heri, ngga usah dilihat lanjut aja perjalanannya. Dugaannya sih semoga hanya babi hutan. Perjalanan melewati bukit dan menembus hutan itu kemudian melewati Cai Kepenta, sebuah daerah yang menjadi tempat pembantaian saat zaman PKI dulu.Ini merupakan salah satu tempat dimana legenda masyarakatnya masih begitu kental. Jalanannya berliku membuat De Heri berpesan kepada suami untuk membunyikan klakson, bulu kuduk rasanya bergidik. Doa pun kami lantunkan sepanjang jalan. Ketika memasuki gerbang kota Bima lega rasanya…