Rumah Memez

Petualangan Lidah

Perjalanan ke Bima, NTB Bagian 2

Photobucket


Mengunjungi jejak sejarah sambil bernostalgia dengan masa lalu ternyata memang menyenangkan ya…

Matahari masih malu-malu menampakan sinarnya saat saya beranjak dari tempat tidur. Jam enam pagi di Bima memang belum terlalu terang. Hari kedua di Bima, akan diisi dengan serangkaian acara pernikahan sepupu. Jam delapan pagi calon pengantin sudah bergegas memasuki Masjid yang akan menjadi tempat pelaksanaan akad nikah, meski Masjidnya hanya terletak di depan rumah, rombongan pengantin sudah menempati Masjid.  Keriuhan rombongan pengantin tidak membuat suasana syahdu menjadi hilang. Oiya, di Bima, kalau mau menikah, calon pengantin laki-laki diwajibkan untuk membaca Al Quran, urutan bacaan Sholat dan Mandi wajib, dibacakannya dengan pengeras suara. kebayang ngga sih kalau ngga hafal? Alamat ngga jadi nikah nih

Karena resepsi pernikahannya akan dilangsungkan pada sore hari, Suami berinisiatif mengajak jalan-jalan ke ASI Mbojo alias Museum Bima. Dahulu ini merupakan istana Kesultanan Bima. Bagaimana kondisinya? IMHO sih menyedihkan ya, hanya sekedar penyimpanan saja, ngga kelihatan nilai estetikanya. Kurang penjelasan juga, yah dengan kata lain kurang menarik. penjelasannya nanti akan dibuat di postingan lain disini.

Setelah bernostalgia dengan menaiki Cidomo di depan Asi Mbojo, sekarang waktunya mengisi perut. Pilihannya adalah bakso Surabaya yang terletak di pasar dekat Pusat Jajan Kota Bima. Sejujurnya sih biasa saja rasanya, tapi setiap porsi bakso dilengkapi dengan tahu yang rasanya unik. Habis makan Bakso Surabaya, makan es Campur yang warna-warni. Harganya murah meriah, lima ribu per mangkok.

Habis bernostalgia dengan kulinernya, kembali ke rumah dan bersiap-siap untuk resepsi pernikahan. Kebanyakan resepsi pernikahan dilangsungkan di tanah lapangan Sepakbola. Tamunya? ribuan. Jadi uniknya adalah, semua tamu datang dahulu dan kemudian setelah tamu sudah berkumpul, pengantin memasuki tempat resepsi. Setelah sambutan-sambutan, tamu kemudian bersalaman tanpa henti. Biasanya sih Ibu-ibu dahulu atau Bapak-bapak dahulu. Jadi kurang lebih selama 2 jam pengantin tidak duduk. Jadi ngga ada deh tuh tamu distop untuk foto bersama.

Selesai resepsi sebelum Maghrib, karena kelelahan, rencana untuk menikmati malam di Kota Bima terpaksa diurungkan. Sempat sih keluar jam 10 malam, ternyata sepi banget saudara-saudara. Tempat yang ramai paling sekitar Amahami saja, itu juga menurut saya kurang nyaman. Akhirnya tidur untuk mempersiapkan petualangan di kota Bima di hari selanjutnya, yang ternyata menakjubkan dan penuh dengan misteri.