Lahir dan tumbuh besar di Jakarta, membuat saya tak pernah merasakan momen mudik atau pulang ke kampung halaman ketika Lebaran. Ketika kemudian tinggal di pinggiran kota Jakarta bersama orang tua, lokasi mudik terjauh yang pernah saya lakukan adalah di Rawamangun, Jakarta Timur. Yang bahkan lebih dekat ketimbang kantor saya. Maka, ketika Lebaran tiba, saya selalu merasa iri pada mereka yang bisa pulang ke kampung halaman yang jauh dari Jakarta.
Momen mudik yang jauh dari Jakarta baru saya rasakan pada tahun 2009, tahun pertama saya menikah dengan Suami. Sekalinya mudik tidak tanggung-tanggung, ke Bima, Nusa Tenggara Barat. Saya mengingat benar, perjalanan yang harus saya tempuh sampai lebih dari 1700 kilometer, belum termasuk tiga kali menyeberang dengan kapal laut.
Berpose di depan kapal laut yang akan membawa ke Pulau Sumbawa
Saat itu, rombongan kami terdiri dari dua mobil, yang penuh muatan penumpang sekaligus oleh-oleh untuk keluarga di kampung halaman. Karena baru pertama kali mudik, saya merasa antusias sekaligus norak. Saya nyaris terjaga sepanjang perjalanan karena tak ingin melewatkan pemandangan di setiap daerah yang dilalui.
Sepanjang perjalanan, saya, Suami, dan keluarga yang semobil dengan kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kenangan masa kecil sampai rencana yang akan dilakukan setibanya di kampung halaman. Momen kebersamaan sepanjang perjalanan ini kemudian mengingatkan saya, inilah makna mudik yang pertama, memperkuat ikatan batin antar keluarga. Dalam setiap obrolan, kami kemudian tertawa bersama ketika kenakalan masa kecil suami diceritakan oleh keluarganya. Salah satu topik yang tak pernah habis dibahas adalah ketika Suami yang saat itu duduk di bangku Sekolah Dasar sempat ditahan Polisi selama beberapa jam, karena ketahuan bermain petasan.
Tambak garam, pemandangan yang akan ditemui dalam perjalanan dari Sumbawa ke Bima, NTB
Setelah perjalanan selama tiga hari tiga malam, akhirnya saya dan rombongan keluarga Suami tiba di kampung halamannya. Saat itu, kota Bima tengah berbenah. Salah satu bukti kemajuan kota Bima adalah adanya gerai ayam goreng cepat saji yang hanya berjarak sepuluh langkah dari rumah masa kecil Suami. Setelah melepas lelah, saya dan suami memisahkan diri dari rombongan dan mengunjungi tempat-tempat yang berkenang selama tumbuh besar di kampung halamannya. Mulai dari sekolah, pelabuhan, hingga tempat makan kesukaannya. Saya kemudian menangkap makna momen mudik kedua, yaitu refleksi dan merenung untuk belajar dari masa lalu.
Momen menyambut hari Lebaran menjadi salah satu momen berarti bagi warga di kampung halaman suami. Membersihkan rumah hingga menyiapkan makanan untuk menyambut tamu menjadi agenda utama. Tapi, yang paling saya suka adalah ketika digelar Pawai untuk menyambut hari Lebaran ini. Puluhan orang berkeliling kota, sambil mengarak miniatur Masjid ataupun makanan yang dihias, sambil mengumandangkan takbir. Saya sampai merinding mendengarnya. Momen yang terbilang “mahal” ini kemudian membuat saya sadar, banyak orang yang rela bermacet-macetan menempuh perjalanan demi menikmati suasana yang tak akan ditemui di Jakarta.
Pawai sambil bertakbir di malam jelang Lebaran
Selama di kampung halaman suami, tak terhitung berapa kali kami bersilaturahmi ke rumah handai taulan. Momen ini buat saya menjadi momen yang paling menyenangkan. Selain bisa berkenalan dan lebih dekat dengan keluarga besar Suami, saya menangkap kegembiraan ketika mereka menerima oleh-oleh yang kami bawa. Raut wajah mereka dipenuhi keceriaan. Saya mencatat ini adalah makna momen mudik ketiga, berbagi itu bikin happy. Keceriaan ini kian bertambah ketika saya dan Suami begitu lahap menyantap hidangan yang mereka sajikan. Maka, tak heran jika usai mudik, berat badan saya bertambah hingga… tiga kilogram #Alasan. Oleh-oleh yang biasanya saya bawa adalah hijab, baju, hingga kosmetik yang memang agak sulit ditemui di sini.
Sholat Idul Fitri di lapangan depan Asi Mbojo
Namanya mudik ke kampung halaman, tak lengkap jika tak mengunjungi tempat wisata yang ada. Sayangnya, di Bima, NTB ini, tempat wisata yang ada belum dikelola dengan profesional. Tapi, hal itu justru jadi sebuah keuntungan. Kita bisa makan di pinggir pantai, di saung yang disediakan, tanpa harus membayar sepeser pun. Hidup menjadi begitu menyenangkan kalau tak perlu mengeluarkan uang untuk hal seperti ini.
Dari berbagai aktivitas yang dilakukan selama mudik, saya selalu merasa terharu ketika keluarga yang dikunjungi mendoakan agar banyak kebaikan dan rezeki yang datang kepada saya dan Suami. Diam-diam saya melihat mata Suami berkaca-kaca setiap mendengar doa yang dipanjatkan. Inilah makna mudik Lebaran keempat, mendengar doa yang tulus dan dibacakan dengan sepenuh hati.
Ikan Asin, oleh-oleh Khas Bima yang wajib dibeli
Hal yang paling menyebalkan ketika mudik adalah kembali ke Jakarta, tempat saya beraktivitas. Bukan… bukan karena perjalanannya yang cukup jauh. Tapi, karena melepas semua kenyamanan dan kesenangan yang didapat selama di kampung halaman. Ya, mungkin terdengar sederhana. Tapi, berkunjung ke rumah keluarga besar, menyambangi tempat yang penuh dengan kenangan masa lalu dan menuntaskan rindu pada kampung halaman menjadi candu, membuat ketagihan. Yang kemudian saya pahami adalah momen mudik ibarat mengisi baterai kembali, mencharge energi dan semangat agar bisa kembali beraktivitas di Jakarta.
Berbagai makna momen mudik yang saya rasakan, kemudian membuat saya kerap dihinggapi kerinduan untuk bisa berlebaran di kampung halaman suami. Jarak ribuan kilometer yang harus ditempuh, seakan tak ada artinya. Sejak momen mudik pertama itu, terhitung lima kali saya mudik ke kampung halaman Suami. Baik ketika Lebaran atau ketika ada acara spesial keluarga besar suami.
Dari berkali-kali kepulangan ke kampung halaman suami, saya kemudian bertemu dengan seorang perempuan yang membuat saya kagum luar biasa. Ya, perempuan itu bernama Ustadzah Marjan, seorang guru mengaji yang mendirikan Pesantren bermodalkan hadiah yang didapatnya ketika menjadi juara MTQ berpuluh tahun silam. Saat mengunjungi pesantrennya saya menjadi malu melihat ketulusan Ustadzah Marjan mengabdikan diri demi pendidikan ratusan santrinya. Pertemuan singkat ini kemudian membuat saya seperti ditegur untuk lebih banyak berbagi pada mereka.
Lebaran 2016, saya tak bisa mudik ke kampung halaman Suami karena harus bekerja. Saat mendengar kumandang takbir di malam terakhir Ramadhan, diam-diam saya menangis karena rindu. Saya rindu ritual mudik. Saya rindu perjalanan menuju kampung halaman. Saya rindu mengunjungi tempat yang lekat dengan masa kecil Suami. Saya rindu mencicipi lezatnya masakan keluarga besarnya. Saya rindu pelukan hangat, doa yang tulus dan mencium tangan para tetua di keluarga besar Suami. Saya rindu melihat wajah ceria mereka ketika menerima oleh-oleh yang saya bawa dari Jakarta. Saya mengingat benar, setiap momen yang dilalui ketika mudik, saya selalu menangis. Bukan… bukan karena sedih. Tapi karena haru sekaligus bahagia. Akhirnya, saya bisa menjejakkan kaki di mana Suami saya berasal. Merasakan kehangatan keluarga besarnya, mengenang setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya.
Air mata yang membanjiri wajah saya saat malam takbiran lalu membuat saya memanjatkan doa dan pengharapan, semoga saya dan Suami diberi kesempatan untuk mudik di tahun depan. Agar bisa membanjiri wajah kami dengan air mata. Air mata haru dan bahagia….
Postingan ini diikutsertakan dalam Blog Competition DiaryHijaber. Dan jangan lewatkan event menarik Hari Hijaber Nasional yang digelar oleh Diary Hijaber pada 7-8 Agustus 2016 di Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat.
semoga menag ya mbak memez mending banjir hadiah dan banjir duit dari pada banjir air mata, eh tapi kalau air mata bahagia sih ngaka pa ya 😉
Hahahahhaa iya Mba Muthia, doain menang ya. nanti gue traktir es teh manis di Brindilsss
Sama kita mbak…mudiknya harus nyebrang pulau , tapi mbak memez malah 3 kali nyebrang lautan yaa.. semoga kita selalu diberi kelancaran rezeki ya mbak biar tetap bisa mudik dan bersilaturahmi dgn keluarga di kampung halaman.
Hihihihi… iya 3x nyebrang laut. Amin… Amin… semoga kita semua diberi kelancaran rezeki sehat dan materi biar bisa mudik.
Ada tambak garam, gitu ya caranya pembuatan garam….
Iya, cara pembuatannya air laut dikumpulkan. kemudian cahaya matahari akan membuatnya mengkristal. Beberapa hari saja, akan berubah menjadi garam.
Akupu mbaaa, meski mudik ngga jauh2 amat tapi jadi momen membahagiakan seklaigus mengharukan. Karena adek n kakakku yang jaraknya lumayan jauh ikut pulang. Serasa ga pengen kemana2 pengennya ngobroool aja sama mereka :’)
Iya memang [ingin banget menghabiskan waktu bersama yaaa 🙂